Fenomena Lidah Tajam di Kolom Komentar

fomo


Sahabat, siapa di sini yang suka meninggalkan jejak komentar di postingan Instagram atau media sosial lain? Atau mungkin Sahabat lebih nyaman jadi penikmat konten pasif, cukup kasih "like" atau scroll saja tanpa berkomentar? Atau jangan-jangan, justru lebih seru baca komentar netizen dibandingkan isi kontennya sendiri?

Ngaku deh, komentar netizen Indonesia memang luar biasa, kadang bikin geleng-geleng kepala. Ada yang nggak nyambung dengan isi konten, ada yang memicu debat panjang soal hal sepele, bahkan nggak jarang juga komentar yang bernada kasar.

Fenomena komentar kasar ini, terutama di Instagram, sudah jadi pemandangan sehari-hari. Kolom komentar yang seharusnya menjadi ruang apresiasi dan diskusi sehat malah berubah jadi ajang perang kata. Kira-kira, apa sebab ini bisa terjadi? Yuk, kita bahas lebih dalam lewat empat aspek utama.

Menggambarkan Fenomena: Kolom Komentar yang Menjadi Ajang Perang Kata

Di berbagai unggahan, mulai dari selebriti hingga akun pribadi, sering kita temui komentar-komentar bernada tajam, bahkan menghujat. Fenomena ini terjadi karena media sosial menyediakan platform yang memungkinkan semua orang berbicara, tanpa memandang batasan norma atau etika. Kemudahan akses ini menjadikan kolom komentar sebagai ruang ekspresi bebas, tetapi sayangnya sering digunakan tanpa pertimbangan bijak.

Tidak hanya di akun-akun besar dengan jutaan pengikut, kolom komentar penuh "lidah tajam" ini juga dapat ditemukan di akun pribadi dengan lingkaran pertemanan kecil. Dari isu politik hingga kehidupan pribadi seseorang, topik apapun bisa menjadi sasaran empuk komentar pedas. Dalam sekejap, ruang yang seharusnya memberikan apresiasi berubah menjadi medan perdebatan panas atau bahkan serangan pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa, bagi sebagian orang, media sosial lebih dari sekadar platform berbagi; ini adalah tempat untuk melampiaskan emosi, pendapat, atau bahkan rasa frustrasi mereka.

Ironisnya, kebebasan ini sering kali membuat pengguna lupa bahwa kata-kata mereka memiliki konsekuensi. Tidak ada filter moral atau rasa tanggung jawab seperti yang mungkin ada dalam percakapan tatap muka. Inilah yang menjadikan media sosial sebagai "zona nyaman" untuk berkata seenaknya, tanpa takut dihadapkan langsung pada dampaknya. Sayangnya, dampak buruknya sering kali dirasakan oleh orang lain, bahkan oleh mereka yang sama sekali tidak terkait dengan masalah yang dibahas.


Mengapa Ini Terjadi? Alasan di Balik Lidah Tajam di Media Sosial

A. Anonimitas dan Keberanian Virtual

Hayo ngaku, Sahabat termasuk tipe yang percaya diri berkomentar dengan akun asli atau lebih suka sembunyi di balik akun anonim tanpa foto profil? Kadang bikin kesal ya, membaca komentar dari akun bodong alias anonim. Nah, ternyata anonimitas ini jadi salah satu penyebab mengapa orang semakin berani meninggalkan komentar yang tidak sopan.

Survei dari Microsoft menunjukkan Indonesia berada di peringkat 29 dari 32 negara dalam kesopanan berinteraksi di dunia maya. Angka ini mengejutkan, apalagi Indonesia dikenal sebagai salah satu negara paling ramah di dunia nyata. Hal ini terbukti dari survei InterNations tahun 2022, yang menempatkan Indonesia di posisi kedua sebagai negara paling ramah. Tapi sayangnya, sikap ramah ini seperti menghilang ketika kita berada di dunia maya. Dan salah satu penyebab utamanya adalah anonimitas.

Anonimitas di media sosial sebenarnya punya dua sisi. Di satu sisi, fitur ini memberikan rasa aman untuk berbicara tanpa takut dihakimi. Tapi di sisi lain, anonimitas sering disalahgunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian, hoaks, atau komentar negatif lainnya. Dengan identitas yang tersembunyi, banyak orang merasa bebas berkata apa saja tanpa harus bertanggung jawab. Akibatnya, standar etika dalam komunikasi online menjadi semakin terabaikan.

Lebih parahnya lagi, anonimitas menciptakan ilusi "bebas tanpa konsekuensi." Orang merasa bisa menuliskan apa pun yang ada di kepala mereka, tanpa memikirkan dampaknya bagi orang lain. Alhasil, kolom komentar yang seharusnya bisa menjadi ruang untuk berdiskusi dan berbagi pandangan berubah menjadi ajang konflik dan perdebatan panas. Dan yang lebih menyedihkan, perilaku ini bukan hanya merusak suasana media sosial, tetapi juga bisa mencoreng citra masyarakat Indonesia di mata dunia.


B. Kurangnya Empati Online

Kadang saya sampai geleng-geleng kepala melihat komentar netizen di konten-konten tertentu. Misalnya, pada unggahan yang bersifat humanis seperti konten amal, selalu saja ada yang berkomentar miring, "Ah, cuma konten," atau, "Pencitraan, paling duitnya diminta balik lagi." Padahal niatnya mungkin tulus, tapi malah dihujani tudingan negatif. Atau pada konten masak, misalnya, seseorang membagikan resep versinya sendiri, tetapi tetap saja ada yang nyinyir, "Cara masak begitu salah, kalau aku sih begini." Seolah-olah ada satu aturan baku yang harus diikuti semua orang.

Yang sering terlupakan, komunikasi digital menghilangkan banyak elemen penting dalam percakapan langsung, seperti nada suara atau ekspresi wajah. Akibatnya, pesan yang disampaikan sering kali terasa dingin atau malah menyerang, padahal mungkin maksudnya tidak seperti itu. Lebih buruk lagi, banyak orang lupa bahwa ada manusia nyata di balik layar yang membaca komentar mereka.

Kurangnya empati online ini membuat orang cenderung asal bicara tanpa berpikir panjang. Komentar-komentar yang awalnya dianggap sepele bisa meninggalkan luka bagi si pembuat konten, apalagi jika sifatnya merendahkan atau bahkan menghujat. Ini menunjukkan bahwa di dunia maya, empati sering kali menjadi barang langka. Padahal, hanya butuh sedikit usaha untuk menahan diri dan menyadari bahwa kata-kata kita punya dampak, bahkan meski tidak terlihat langsung.


C. Tekanan Sosial dan FOMO

fomo

Seringkali, kita merasa terdorong untuk ikut berkomentar hanya karena merasa takut ketinggalan, atau yang lebih dikenal dengan Fear of Missing Out (FOMO). Apa penyebabnya? FOMO ini muncul ketika kita melihat orang lain sedang membahas atau menikmati sesuatu yang sedang viral, dan kita merasa harus ikut serta meskipun belum tentu memiliki pendapat yang kuat tentang topik tersebut.

FOMO ini juga bisa memengaruhi cara kita berkomentar di media sosial, bahkan dengan nada yang kurang positif. Misalnya, ketika ada acara atau momen seru yang dibagikan, sering kali muncul komentar yang terkesan iri atau cemburu, seperti, "Kok bisa aku nggak ikut ya?" atau "Kenapa aku nggak tahu soal ini?" Hal ini menunjukkan bahwa orang merasa ketinggalan dan ingin menunjukkan kehadirannya dalam percakapan yang sedang tren, meskipun kadang tanpa pemahaman yang mendalam.

Berikut beberapa cara FOMO memengaruhi interaksi di media sosial:

  1. Reaksi Emosional: Banyak orang yang memberikan komentar berdasarkan perasaan cemas atau iri, seperti "Aku juga ingin ikut!" atau "Kenapa aku nggak tahu tentang ini?" Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh FOMO dalam memicu reaksi impulsif di kolom komentar.

  2. Aktivitas di Media Sosial: Untuk merasa terhubung dengan momen yang sedang viral, orang cenderung lebih aktif berkomentar atau memberi reaksi. Ini bisa terjadi meskipun mereka hanya ingin mengikuti arus tanpa benar-benar mengerti atau memiliki pandangan yang relevan.

  3. Pengaruh Sosial: Tak jarang, FOMO membuat seseorang berkomentar atau ikut dalam diskusi hanya untuk merasa bagian dari kelompok. Mereka lebih memilih untuk mengikuti apa yang sedang tren daripada menjadi pribadi yang berbeda atau terlihat terasing dari percakapan.

Secara keseluruhan, FOMO dapat menciptakan dinamika yang menarik di media sosial, memicu komentar yang penuh emosi dan reaksi yang terkadang lebih didorong oleh keinginan untuk terhubung dengan orang lain daripada oleh pendapat yang objektif.


D. Algoritma dan Engagement

algoritma


Ini dia salah satu alasan terkuat mengapa fenomena lidah tajam bermunculan di kolom komentar. Konten-konten yang kontroversial sering kali menjadi primadona di media sosial. Bukan tanpa alasan, hal ini karena pembuat konten sadar betul bahwa semakin banyak reaksi yang ditimbulkan, semakin besar pula peluang mereka mendapatkan perhatian—dan tentu saja, cuan. Demi algoritma dan engagement, konten dibuat seprovokatif mungkin, tanpa memikirkan dampak negatif yang bisa ditimbulkan. 

Pembuat konten sering kali tidak menyadari bahwa dengan memanfaatkan kontroversi, mereka ikut memicu kemarahan atau kebencian yang mendorong netizen untuk berkomentar dengan lebih tajam. Apa yang seharusnya bisa menjadi diskusi yang sehat, malah berubah menjadi ajang saling serang antar pengguna media sosial. Terlebih lagi, semakin banyak komentar yang terkesan keras dan kasar, semakin besar pula peluang konten tersebut untuk viral.

Ini menjadi lingkaran setan yang sulit dihentikan. Ketika pembuat konten melihat bahwa konten mereka berhasil menarik banyak perhatian—baik itu positif maupun negatif—mereka cenderung akan terus mengulang formula yang sama. Akibatnya, komentar-komentar negatif, yang penuh dengan kata-kata kasar atau bahkan hujatan, semakin mendominasi.

Pada akhirnya, meskipun konten kontroversial dapat memberikan keuntungan dalam bentuk engagement, hal ini juga berperan besar dalam meningkatkan ketegangan di dunia maya. Alih-alih menciptakan ruang untuk percakapan yang bermanfaat, ini justru memperburuk kualitas interaksi di media sosial, karena komentar kasar sering kali lebih cepat muncul dibandingkan komentar yang lebih konstruktif dan berwawasan.

Penutup

Sebagai penutup, kita memang tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa komentar di media sosial, khususnya Instagram, sering kali menjadi ajang perang kata. Kolom komentar yang seharusnya menjadi ruang untuk berbagi pendapat atau apresiasi justru seringkali dipenuhi oleh komentar tajam dan kasar. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan media sosial, kita juga harus menyadari bahwa perilaku kita di dunia maya punya dampak yang nyata, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk orang lain.

Sahabat, kita semua tentunya ingin media sosial menjadi tempat yang lebih positif, di mana kita bisa saling bertukar ide dengan cara yang lebih santun dan penuh empati. Sebuah komentar yang bijak, meski berbeda pendapat, tetap bisa disampaikan dengan cara yang baik dan penuh pengertian. Jangan biarkan komentar yang menyakitkan atau tidak sopan merusak pengalaman kita dan orang lain di dunia maya.

Fenomena komentar kasar ini bisa jadi lebih buruk jika terus dibiarkan, dan kita, sebagai pengguna media sosial, punya peran besar untuk mengubahnya. Mulai dari diri sendiri, kita bisa memilih untuk tidak terjebak dalam provokasi atau mengikuti arus komentar negatif. Alih-alih berkontribusi dalam keributan, kita bisa menjadi contoh dengan memberikan komentar yang membangun, atau setidaknya memilih untuk tidak berkomentar sama sekali jika tidak ada yang positif untuk disampaikan.

Pada akhirnya, media sosial adalah ruang bersama yang bisa menjadi tempat untuk berbagi, belajar, dan saling mendukung. Jika kita bisa lebih bijaksana dalam berkomentar dan saling menghormati, maka kualitas interaksi di media sosial pun akan meningkat. Mari bersama-sama menjaga agar dunia maya tetap menjadi tempat yang menyenangkan dan bermanfaat untuk kita semua. Setuju ya?


Post a Comment

7 Comments

  1. Bijak berkomentar ataupun berselancar di media sosial merupakan salah satu cara agar nyaman menggunakan media sosial ya Kak. Miris saya kalau melihat netizen saling menghujatpadahal belum tentu mereka tahu fakta yang benar

    ReplyDelete
  2. Saya termasuk penikmat media sosial pasif. Sangat jarang berkomentar, apalagi di kolom komentar orang yang tidak kenal.
    Tapi memang sangat mengerikan melihat komentar orang-orang yang kadang bikin kita mengelus dada, koq bisa ya orang-orang di negeri ini sangat kasar bertutur kata di dunia maya

    ReplyDelete
  3. Ketika komunikasi fatis di media sosial memang terbukti dari realitas yang terjadi. Luar biasa lidah tajam netizen

    ReplyDelete
  4. Harusnya kita menyadari bahwa apa yang ditulis memiliki konsekuensi. Setiap kata yang terketik akan ditanya pertanggungjawaban.

    ReplyDelete
  5. Memang lidah tak bertulang, tak berbatas kata-kata. Jadi inget sebuah bait syair lagu. Saya setuju dengan pandapat mba, kurang empati bisa menyebabkan lidah tajam komentarnya.

    ReplyDelete
  6. Iya ya mbak, terasa banget komentar rangorang makin terasa tajm di medsos. Apa emang sudah segitu terkikisnya rasa empati kita ya. Aku yang bukan orang dekat yang dihujat aja, merasa sedih. Apalagi keluarganya gitu kan.

    ReplyDelete
  7. Setuju sih Mbak. Dunia medsos terlalu luas, dan kita harus berhati-hati membentengi diri kalau tidak mau terkontaminasi. Jangan sampai ikutikutan hehe

    ReplyDelete

advertise