Akhirnya ada sebuah kesempatan untuk membahas topik yang buat saya sangat menantang ini. Saya pun masih belajar untuk menjadi bagian dari Alpha Generation, generasinya anak-anak yang lahir di rentang tahun 2010 – 2024.
Kedua anak saya yang usianya terpaut 2 tahun lahir di masa
internetnya Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat, ditambah dengan
masa pandemi yang membuat semua kegiatan manusia terkoneksi satu sama lain
dengan jarak dan terlaksana lancar sepenuhnya berkat internet.
Yes, betul bahwa setiap orang tua dari anak-anak beda
generasi, termasuk saya punya tantangan uniknya sendiri. Sebagai orang yang
dilahirkan menjadi generasi 83-an, Generasi X, saya merasa seperti menjelajahi medan baru dan
asing.
Saya lahir ketika ada radio tape, televisi masih ditonton
beberapa tetangga bersama-sama, lalu saya mengenal televisi dengan remote
control, dan kemudian di saat saya sudah SMP baru saya mengenal internet. Maka,
saya sangat heran ketika bayi saya yang berusia 7 bulan sudah menolak menyusu
ketika mendengar tokoh Upin dan Ipin berceloteh di televisi.
Generasi Alfa, Generasinya Duo Bocil
Generasi Alfa lahir menggantikan generasi Z. Mereka tumbuh
di lingkungan digital, dengan semua pengetahuan didapat hanya dengan sekali
klik. Teknologi tidak hanya memengaruhi pengalaman hidup Generasi Alfa tetapi
juga menentukan cara mereka berinteraksi dengan rekan-rekan mereka.
Generasi Alfa adalah mereka yang sangat terhubung dengan
internet dan teknologi sudah menjadi bagian dari gaya hidup mereka. Generasiini juga sangat visual. Video dan
gambar bergerak lain dianggap sebagai peningkat keterampilan visual mereka,
meningkatkan koordinasi mata-tangan, dan kemampuan untuk beralih tugas dengan
mudah.
Orang Tua, Alpha Generation, dan Internet
Pernahkah terpikir oleh Sahabat bagaimana cara kita sebagai
orang tua menggunakan teknologi – khususnya Internet – secara efektif dan bijak
dalam kehidupan kita? Mau tidak mau, suka tidak suka, internet sering kali menciptakan
dilema pengasuhan baru, cara kita berinteraksi satu sama lain sebagai orang
tua, cara kita melihat orang tua lain, dan bahkan cara kita melihat diri kita
sendiri. Iya apa iya?
Untuk satu hal, Internet telah meningkatkan akses kita ke
informasi. Setuju banget kan? Punya
pertanyaan tentang toilet training, anak yang speech delao, masalah dengan
tumbuh kembang anak lain, cara menyusui yang tepat, dan segala pertanyaan
tentang enjadi orang tua yang paling sempurna untuk anak-anak bisa ditanyakan
pada ahlinya. Google!
Orang tua memiliki pertanyaan dan Internet memiliki
jawabannya. Dengan cara yang sama, teknologi telah memudahkan orang tua untuk
terhubung satu sama lain dan menemukan kelompok-kelompok yang diangga berbagi
frekuensi yang sama.
Setelah menjadi ibu, saya sering kebingungan tentang tumbuh
kembang anak pertama yang berbeda dengan anak seusianya. Berkat grup online
yang saya temukan melalui Instagram, dan aneka postingan edukasi bagi orangtua
lainnya, saya menemukan kelompok-kelompok yang berisi para ibu dengan masalah
yang sama. Kita seperti berbagi kekhawatiran, tetapi saling menguatkan satu sama
lain, walau hanya lewat kata-kata dan itu sudah sangat menghibur bagi saya.
Jadi ya, teknologi – khususnya Internet dan media sosial –
telah memungkinkan orang tua untuk terhubung dengan cara yang lebih bermakna.
Dengan kata lain, teknologi telah mempermudah kita untuk saling membisikkan hal
yang sangat ingin kita dengar: Anda bukan satu-satunya; kamu tidak sendiri.
Tantangan Mengasuh Generasi Alfa
Teknologi tidak serta merta menciptakan persahabatan utopis,
persahabatan yang tampak indah dan manis dalam dunia pengasuhan anak. Ada sisi
berbahayanya juga. Karena cengkeraman yang dimiliki media sosial pada budaya
kita, perlu sekali untuk membentengi diri terhadapserbuan asumsi dan
perbandingan berdasarkan cuplikan yang kita lihat online; romantisme menjadi
orang tua; representasi yang tidak akurat dari anak-anak kita; dan kecenderungan
untuk berbagi hal yang kiranya bersifat privat – yang bukan konsumsi publik.
Siapa yang sering mendapati postingan di lini masa medsos
masing-masing yang isinya tentang keberhasilan ibu A menerapkan hal B, ibu C
mengajak anaknya melakukan kegiatan C, dan sejenisnya? Hal-hal yang menyindir
kemampuan nurturing kita sebagai ibu?
Saya sendiri sering merasa seperti seorang ibu yang kurang kompeten
karena saya memilikihal seperti yang dilakukan ibu-ibu di lini masa itu.
Hal-hal yang menuai jutaan likes dan share dan comment. Ada
pula ibu yang menuai pujian karena selalu membuatkan menu harian yang sangat variative
dengan presentasi makanan luar baisa cantiknya.Saya makin merasa bersalah tentang
sajian menu makanan yang itu-itu saja untuk bocil.
Tapi, di lain waktu, ketika saya mengecek akun Instagram
pribadi dan anak-anak saya, saya menemukan foto-foto yang tersenyum dan mata anak-anak
yang berbinar. Ada juga foto berisi wajah cemberut dan sedikit air mata. Tapi,
tantrum anak, air mata, dan kekecewaan adalah bagian dari drama perkembangan
emosi mereka juga yang patut disyukuri.
Apa pun titik lemah pengasuhan, akan selalu ada sesuatu yang
bergerak ke tempat yang rentan itu. Kita dibombardir dengan informasi dari
segala arah, banyak di antaranya berpotensi menusuk titik lemah kita, bahkan
jika melakukannya secara tidak sengaja.
Jadi bagaimana kita, sebagai orang tua, membantu anak-anak
kita memanfaatkan manfaat teknologi sambil mengelola perangkapnya jika kita
tidak yakin bagaimana menghadapinya dalam kehidupan kita sendiri?
Mungkin langkah pertama adalah mengakui bahwa perilaku
online kita sangat memengaruhi cara kita berinteraksi sebagai orang tua, cara
kita melihat satu sama lain, dan cara kita berpikir tentang diri kita sendiri.
Kemudian, mungkin, dengan beberapa latihan, kita dapat mengingatkan diri kita
sendiri bahwa, meskipun kita dibombardir dengan contoh-contoh “praktik terbaik”
pengasuhan anak, tetapi cinta, murni yang pure dan sederhana, adalah
yang terpenting.
Mungkin ada segunung informasi dan nasihat di luar sana tentang bagaimana kita bisa menjadi orang tua yang lebih baik (dengan pendapat yang berbeda dan tak terhitung jumlahnya tentang apa artinya itu), tetapi mungkin kita semua bisa berdiri untuk menjadi sedikit lebih baik dan lebih lembut satu sama lain dan diri kita sendiri sebagai dengan baik. Mungkin "cukup baik" perlu mengesampingkan "praktik terbaik" sesekali.
Dan, seperti kebanyakan hal, menghadapi tantangan
membutuhkan kejujuran, keaslian, dan keterbukaan hati. Sebagai seorang bloger
dan seorang ibu, saya memiliki hak istimewa untuk menggunakan teknologi sebagai
platform untuk menjangkau pembaca.
Dengan bantuan IndiHome, internetnya Indonesia, saya bisa
mulai melukiskan gambaran yang realistis
tentang pengasuhan anak. Karena alasan inilah saya mencoba menulis bukan hanya
sisi manis dari mengasuh anak, tetapi juga sisi pahitnya.
Tanpa kemudahan berselancar di dunia maya dan kecepatan
teknologi bagaimana mungkin saya bisa
menghabiskan jam-jam berbagi pikiran sebagai orang tua. Alhamdulillah IndiHome sudah
menggunakan jaringan fiber optik dan tersebar di seluruh negeri. Dengan
infrastruktur yang mupuni ini, I menawarkan pilihan kecepatan Internet
unlimited hingga 300 Mbps.
Layanan internet jempolan ini tidak hanya cepat, akses
internet IndiHome juga lebih stabil dan tahan terhadap cuaca. Aktifitas saya
sebagai ibu dan keinginan saya untuk berbagi momen yang takkan terulang ini
sangat terbantu dengan IndiHome.
Saya percayakam solusi Internet cepat, berkelas, dan cerdas dari
IndiHome untuk aktivitas saya sebagai ibu si unik yang tak terbatas. Anak saya
memang berbeda, dia unik, tak sama dengan yang lainnya. Apapun yang dia miliki
adalah anugerah Tuhan untuk saya sekeluarga. Jangan kesampingkan keberadaan
internet dalam pengasuhan anak-anak Alpha Generation. Saya dan anak-anak
generasi alfa ini berbeda zaman, maka saya wajib belajar dan terus upgrade kemampuan
diri untuk menjadi sahabat Generasi Alfa ini.
0 Comments